Pandangan keliru orang tentang Mahasiswa Sastra

Seorang mahasiswa yang bergelut di dalam program studi Sastra, pastinya berbagai hal problematika pasti pernah dirasakan, entah itu suka maupun duka. Di samping keseruan dan kepedihanmu sebagai mahasiswa sastra, kadang juga mahasiswa dipandang sebelah mata oleh beberapa pihak yang tidak terlalu tahu menahu tentang jurusan sastra.
Meski pandangan itu nggak sepenuhnya benar, tetapi bagi kamu yang menjadi mahasiswa sastra pasti juga malas mendepatkannya dengan orang yang ngomongin sastra aneh aneh. Tenang dan jangan khawatir, blog pengasah budaya dan sastra kali ini akan mengupas tuntas tentang pandangan pandangan negatif bagi mahasiswa yang kuliah di jurusan sastra.
Jurusan Sastra dianggap sebagai pilihan terakhir sekadar buat jaga-jaga. Pokoknya kuliah dan masuk universitas negeri. Benarkah?
Bagi Kamu yang menjadi mahasiswa prodi sastra sering kali ‘dituduh ’ memilih jurusan tersebut untuk berjaga-jaga. Entah kenapa, mereka menganggap kamu meletakkan Sastra pada pilihan terakhir pada waktu tes SNPMTN maupun SBMPTN. Mereka juga kadang bahwa kamu mengira tak peduli dengan jurusannya yang penting masuk universitas negeri favorit. Pasti terkadang salah seorang teman akan menanyai kamu seperti ini:
Teman: “Kamu dulu pilihan pertamanya apa?”
Kamu: “Sastra Indonesia.”
Teman: “Oh, kirain kamu dulunya pengen masuk Komunikasi terus pilihan ke tiganya Sastra.”
Faktanya, memang sih terkadang ada anak-anak yang menempatkan jurusan Sastra di pilihan terakhir dengan tujuan untuk berjaga-jaga. Tapi, banyak juga kok mereka yang memang tertarik untuk berkuliah di jurusan Sastra. salah satunya berdasarkan pengalaman admin blog ini yang sempat tanya-tanya kawan seperjuangan sastra.
Mereka yang kuliah di Sastra pasti belum kepikiran setelah lulus mau kerja apa dan dimana.
“Memang kalau udah lulus nanti mau kerja apa?”
Pertanyaan tersebut selalu menghampiri saat kamu menyatakan memang tertarik berkuliah di Sastra. Pada awalnya sih kamu yang kuliah di Sastra telah memiliki cita-cita yang super duper tinggi. Mau jadi sastrawan, penulis, editor, penerjemah, dan lain sebagainya. seperti penulis-penulis terke\kemuka, seperti raditya Dika, Dewi Lestari, Djenar Maesya Ayu, Chairil Anwar, gus Mus, dll. Tapi entah kenapa, seiring berjalannya waktu cita-citamu hanya ingin bisa lulus dan mendapat gelar sarjana, karena sudah mulai lelah dengan tekanan dan problematika di dunia perkuliahan.
Ada juga lho yang masuk Sastra dan disangka cuma korban demam film drama Asia ataupun Anime.
“Kamu pilih Sastra Jepang karena kebanyakan nonton anime, ya?”
Praduga ini sering dituduhkan pada mereka yang ngambil Sastra asing seperti Jepang, Korea, dan Mandarin. Padahal nggak semua anak Sastra tersebut suka sama film-film yang berbau jepang ataupun korea dan china, kok!
Kuliahnya Kuliahnya seperti tidak ada beban. Nggak heran kalau banyak orang bertanya; “mereka sebenernya kuliah apa nggak, sih?”
Hampir setiap hari dandanannya tidak seperti orang yang akan pergi ke kampus. Pakai celana jeans sobek-sobek dan kaos oblong. Di kampus juga kayaknya cuma nongkrong-nongkrong atau sekedar cari WiFi saja. Waktu anak lain sibuk ngerjain praktikum, tugas dan lain-lain, mahasiswa malah sibuk latihan band atau nyiapin pentas seni buat acara cosplay dan semacamnya. maka akan muncul pertanyaan dari berbagai pihak seperti ini.
Kok kayaknya anak sastra tuh santai-santai banget? Sebenernya mereka ini kuliah apa nggak sih?
Agak susah sebenarnya memahami cara berkuliah anak Sastra (ngeles). Kebanyakan anak Sastra memang suka berkesenian dan sebenarnya memang kegiatan Sastra sepatutnya bersingunggan dengan kesenian, seperti musikalisasi puisi atau teater misalnya. Kalau ada banyak anak Sastra yang kelihatan santai-santai mungkin mereka lagi menjalani proses kreatif supaya dapat menghasilkan karya Sastra yang setara dengan seniornya (ngeles lagi! ).
Gedung kampusnya sederhana, mungkin bayar kuliahnya juga sederhana.
“Jalan-jalan ke berbagai universitas, kalau liat kampus yang paling biasa udah bisa ketebak itu pasti kampus Sastra. Emang masuknya paling murah, ya?”
Di banyak universitas, memang kampus Sastra terlihat lebih sederhana dari pada fakultas-fakultas lain. Tapi, itu bukan berarti masuknya jadi murah lho! SPP semester dan SKS rata-rata tiap mahasiswa (semua jurusan) samam karena universitas sekarang menggunakan sistem UKT yang subsidi silang. Mungkin fakultas Sastra lebih tampak sederhana karena mencerminkan anak-anaknya memang selalu tampil sederhana di luar tapi pemikiran mereka belum tentru sederhana, bisa juga sangat istimewa. ciyeeeee !
Selain romantis, cowok-cowok di Fakultas Sastra pasti tukang gombal dan jago merayu.
Menjadi mahasiswa sastra maka tidak akan jauh dengan yang namanya puisi dan syair, maka tidak jarang yang beranggapan bahwa mahasiswa satra itu suka merayu. misalnya saja Sapardi Djoko Damono yang selalu menuliskan sajak-sajaknya yang begitu apik nan romantis. Mungkin hanya dengan cara itu seorang mahasiswa sastra bisa mendapat pacar. hehe
Di fakultas Sastra nggak ada dosen yang terkenal. Mungkin dosennya juga malas-malasan ketika mengajar.
Memang nggak kayak dosen lain yang sering masuk jajaran kementrian atau jadi wakil presiden, tapi bukan berarti dosen Sastra nggak terkenal. Banyak dosen Sastra yang juga menulis buku baik ilmiah maupun non-ilmiah. Seperti halnya bapak didin widyartoni (Dosen Pendidikan bahasa dan sastra Indonesia di FIB UB) yang sudah mencetak buku ilmiah dan non ilmiah.
“Tapi, kayaknya dosen Sastra suka malas-malas, buktinya kelasnya banyak yang kosong.”
Anak Sastra memang kerap kali kuliahnya kosong, tapi bukan berarti dosennya itu malas mengajar.. Umumnya dosen Sastra pada banyak urusan di luar seperti riset atau mengisi seminar ilmiah, bahkan sampai harus mengisi presentasi di luar negeri. Tuh, laris manis juga ‘kan dosen-dosen Sastra?
Masuk fakultas Sastra itu gampang, tapi lulusnya yang lama! Benarkah ?
Siapa bilang masuk Sastra gampang? Itu salah besar. Yang benar masuk Sastra itu untung-untungan! banyak orang yang berjuang mati-matian agar bisa masuk sastra. Sedangkan kalau soal lulus, itu relatif. Kamu yang memang masuk Sastra karena ketertarikan pasti bakal dengan mudah melahap semua mata kuliah dan lulus dengan cepat.
Tapi, jika kamu yang merasa masuk Sastra karena nggak ada pilihan lain, atau bisa dibilang karena nyasar jurusan, ya bisa saja lulusnya lama. Meski demikian, lulus lama nggak jadi masalah kok, lebih baik lulus di waktu yang tepat tapi hasilnya memuaskan daripada lulus tepat waktu tapi biasa-biasa aja. Iya, nggak?
Kesimpulannya, tidak ada sebuah jurusan yang bisa dipandang sebelah mata ataupun tak mengasikkan, tergantung seorang itu bagaimana menjalaninya.
Nah, gimana? Apa kamu yang sedang bergelut di bidang sastra juga merasakan hal yang sama? Kamu yang mahasiswa Sastra, biasanya dapat pandangan miring seperti apa sih?
#SalamSastra

1 comment: Leave Your Comments

  1. Ada yang suka baca Gabriel Garcia Marquez? Baca juga wawancara dengan Gabriel di stenote-berkata.blogspot.com Mudah-mudahan suka.

    ReplyDelete