Peran Budaya dan Sastra dalam Pengembangan Bahasa

Bahasa menunjukkkan bangsa, setidaknya itulah tamsil yang seringkali kita dengar. Dari tamsil itu bisa pahami bahwa bangsa yang baik, maju dan berperadaban terlihat dari bagaimana penduduknya berbahasa. Artinya dalam memahami sebuah bahasa tidak hanya aspek rasionalnya saja yang harus diketahui, namun lebih dari itu aspek emosi dan aspek afektif dari sebuah bahasa juga berpengaruh bagi penuturnya. Sebuah pepatah berbunyi “Nan Kuriak iyolah Kundi, Nan Merah Iyolah Sago”, “Nan Baiak Iyolah Budi, Nan Indah Iyolah Basa”. “ yang kurik adalah kendi, yang merah adalah saga, yang baik adalah budi, yang indah adalah basa (bahasa)”. Dalam pepatah ini juga terlihat bahwa budi dan bahasa seseorang menjadi ukuran baik buruknya seseorang. Namun apa yang terjadi saat ini, di tengah pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kita bisa menyaksikan hampir setiap hari di media cetak dan elektronik, tontonan-tontonan yang kesemuannya itu tidak menampilkan bahasa yang baik.
Indonesia pasca 1990 adalah era televisi multi kanal, sebuah era radio bergambar, sebuah era tradisi lisan kedua, tanpa sempat mengalami tradisi baca yang kuat. Era ini ditandai dengan merebaknya teknologi penyimpanan, peniruan serta pengelolaan bertutur. Hal ini menyebabkan spritualitas tradisi lisan pertama kehilangan kemampuan transformasi diri, baik secara formal lewat sistem pendidikan atau pun sistem kehidupan budaya (Nugroho, 2007). Spritualitas yang dimaksud antara lain kemampuan bertutur, kemampuan berbahasa, serta kepekaan yang humanis, sehingga mayoritas tradisi lisan yang dihidupkan oleh bahasa daerah kian mengalami penurunan peran.
Padahal semuanya itu termasuk dalam hasil budaya popular, namun tidak semua hasil budaya popular tersebut menghasilkan perubahan yang banyak terhadap pengembangan bahasa. Barangkali di sinilah perlu dipikir ulang, apakah karya-karya sastra yang lahir dari analisis sosial itu akan menjadi sebuah hal yang berharga untuk pengembangan bahasa?, atau justru sebaliknya akan menghancurkan bahasa. Untuk itulah perlu sebuah kajian tentang dampak sastra dan budaya (sastra hadir dari analisis fenomena masyarakat yang berbudaya) dalam pengembangan bahasa.
Masalah:
Selama ini kita mendengar bahwa sastra dan budaya itu hanyalah sebagai bidang ilmu yang membicarakan soal realita dan masyarakat. Sastra dan budaya sepertinya belum mampu memberikan kontribusi yang nyata dalam pengembangan pembangunan. Padahal kalau dilihat lebih jauh sastra dan budaya cukup memberikan kontribusi dalam pengembangan salah satu aspek pembangunan, aspek itu adalah aspek bahasa, karena bahasa menunjukkan bangsa, setidaknya itulah salah satu tamsil yang paling serinmg kita dengar. Maka dari itu perlu kiranya kita melihat:
1. Apakah contoh peran sastra dalam pengembangan bahasa,
2. Apakah contoh peran budaya dalam pengembangan bahasa,
Tinjauan Pustaka
Darwinsyah (2008) dalam waspada online ketika lomba debat antar mahasiswa yang diadakan oleh UHAMKA (Universitas Muhamadiyah Hamka) Jakarta. Dalam tulisannya disebutkan bahwa dua kelompok yang berlaga waktu itu menyatakan pro dan kontra seputar pembelajaran satra. Kelompok A misalnya menyatakan bahwa peranan sastra untuk pelajar sangat penting karena dapat menumbuhkan rasa nasionalisme sehingga kita dapat menangkis dampak buruk budaya global. Sementara itu kelompok B menyatakan bahwa sastra hanya diperlukan hanya untuk penambah wawasan saja.
Mustakim (2003). Dalam abstrak tulisannya mengenai Peranan Unsur Sosial Budaya dalam Pengajaran BIPA, mengungkapkan, bahwa bahasa sebagai perilaku sosial yang digunakan sebgai sarana komunikasi, melibatkan berbagai berbagai faktor sosial dalam penggunaannya. Faktor itu antara lain; jenis kelamin, hubungan peran, tempat, tujuan, situasi sosial dan sebagainya. Untuk itu para pengajar bahasa tidak boleh hanya mengutakana aspek-aspek kebahasaan tanpa melibatkan aspek sosial. Karena hal itu hanya akan melahirkan siswa yang hanya paham materi dan teori tetapi tidak mampu berkomunikasi atau menggunakan bahasa dalam situasi yang sebenarnya.
Purba (2008) dalam waspada Online, Beliau mengungkapkan bahwa pembejaran sastra dari dulu hingga sekarang selalu menjadi permasalahan. Walaupun permasalahannya bersifat klasik tetapi hangat atau up to date. Lebih jauh Purba menjelaskan bahwa karya sastra mempunyai relevansi dengan maslaha-masalah dunia pendidikan dan pengajaran. Sastra dapat memperhalus jiwa, dan memberikan motivasi kepada masyarakat untuk berpikir dan berbuat demi pengembangan dirinya dan masyarakat serta mendorong mendorong munculnya kepedulian, keterbukaan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Ruskhan (2007), dalam makalahnya untuk Seminar Pengajaran Bahasa Indonesia Pertemuan asosiasi Jepang-Indonesia di Nanzan Gaken Training Centre, Nagoya Jepang, 10-11 November 2007, mengungkapkan betapa pentingnya pengajaran budaya bagi penutur asing, karena dengan memberikan pengajaran tentang kebudayaan bagi penutur asing diharapkan pelajar mampu menggunkan bahasa yang tepat untu situasi yang tepat sehingga tidak terjadi kesalahan dalam penafsiran dari sebuah kata dalam sebuah kebudayaan.
Zakaria 2007 yang berjudul Budaya Mempengaruhi Bahasa dan Komunikasi dalam Waspada Online, Zakaria membahas tentang perseteruan yang terjadi antara dua Negara yang katanya serumpun (Indonesia dan Malaysia). Zakaria menulis bahwa pemukulan yang dilakukakn oleh kopolisian Negara Malaysia terhadap wasit Donal Luther terjadi karena ketidak saling memahami antara kepolisian Diraja Malaysia dan Donal Luther dalam penggunaan bahasa antara mereka. Sementara itu bahasa dalam komunikasi lisan bisa menciptakan kesalah pahaman atau salah mengerti, salah tanggap, Namun lebih dari itu bahwa bahasa manusia disusun berdasarkan sekumpulan aturan yang disepakati, seperti yang berkaitan dengan bunyi (fonologi), Morfologi (berkaitan dengan bentuk kata), sintaksis, semantik, serta apa yang dinamakan pragmatis (memandang sesuatu menurut kegunaan). Barangkali faktor terakhir inilah yang menyebabkan peristiwa pemukulan itu terjadi.
Metodologi dan Pembahasan
Penulisan makalah ini diawali dengan pengamatan terhadap beberapa stasiun televisi yang menayangkan sinetron-sinetron yang disiarkan secara nasional dan membaca beberapa karya sastra, setelah itu mulai dilihat gejala-gejala yang ditimbulkan dari sinetron tersebut, khusunya gejala kebahasaan. Pengamatan ini dilakukan dengan beberapa tahapan. Tahap awal yang dilakukan adalah pengumpunalan data. Data dikumpulkan dengan cara menonton dan mencari bahan-bahan yang terkait melalui internet dan sumber-sumber bacaan yang terkait dengan masalah yang akan dibahas, Setelah data terkumpul data-data tersebut dianalisis dan dideskripsian contoh-contoh yang terdapat di sinetron dan dalam beberapa karya sastra terkait dengan peran sastra dan budaya dalam pembelajaran bahasa.
1. Peran Sastra dalam Pengembangan Bahasa
Sastra sebagai sebuah karya yang menampilkan realitas yang ada dalam masyarakat menjadi penting artinya dalam pengembangan bahasa, beberapa arti penting sastra dalam pengembangan bahasa antara lain,
a. Menambah wawasan kebahasaan
Karya sastra sebagai sebuah karya kreatif memiliki ketiga aspek penting bahasa, yaitu aspek rasional, karya sastra menampilkan kenyataan masyarakatnya. Apek emosional, karya sastra menampilkan emosi-emosi dalam alur-alur cerita yang ditampilkan oleh pengarangnya, dan aspek afektif, sastra menampilkan tingkah laku tokoh-tokoh yang dibuat oleh pengarangnya.
Secara pasif sastra memberikan pengajaran bahasa melalui membaca karya sastra, pembacaan karya sastra berupa novel dan cerpen akan menambah wawasan kebahasaan seseorang. Selain itu membaca karya sastra juga mampu menambah wawasan kebudayaan. Secara aktif sastra memberikan pengajaran bahasa melalui tindakan atau peragaan. Hal ini dapat kita lihat dalam penampilan drama dan puisi. Pembaca secara tidak langsung belajar artikulasi bunyi yang baik, intonasi yang diikuti dengan penghayatan.
Lebih jauh sastra juga berpengaruh dalam proses penambahan atau masuknya kosakata-kosakata daerah ke kosakata Bahasa Indonesia. Kita bisa lihat bagaimana masuknya kosakata Jawa dan Sunda ke dalam bahasa Indonesia melalui karya sastrawan jawa Linus Suryadi AG dalam karyanya “Pengakuan Pariyem”. Linus dengan sangat latar belakang budaya Jawanya mampu memberikan kata-kata dalam bahasa jawa yang lugas dalam Prosalirisnya ini. Contohnya dalam cuplikan berikut “Ya, Ya Pariyem saya “Iyem” panggilan sehari-harinya, saya bocah gunung, melarat pula, badan dan jiwa harta karun saya penghidupan anugerah Sang Hyang Wisesa Jagad”. Dari contoh tersebut terdapat beberapa kosakata jawa, selain itu budaya juga dapat dilihat bagaimana seorang wanita jawa memandang diri dan hidupnya sebagai harta benda pemberian yang maha kuasa. Selain itu kita juga bisa melihat ini pada karya-karya Ahmad Tohari dalam trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jentera Biang Lala. Dari judul karya-karyanya Ahmad Tohari secara tidak langsung memperlihatkan latar belakang budaya yang mempengaruhinya. Karya sastrawan Sumatra Barat pun ikut memberikan sumbangan dalam peristiwa bertambahnya kosakata itu. Karya-karya AA Navis, Gus TF Sakai dan Haris Efendi Tahar. Peristiwa masuknya kosa kata itu dalam Ilmu bahasa khususnya Sosiolinguistik dianggap sebagai interfensi bahasa.
b. Menambah perbendaharaan kosakata,
Pada karya-karya di atas mempelihatkan bagaimana kosakata-kosakata daerah masuk dalam ranah bahasa Indonesia. Namun ada juga karya sastra mampu menambah perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia dengan kosakata asing, masuknya kosakata asing tersebut dapat kita lihat dalam Tetra Logi Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata. Andrea dengan ilmu yang dimilikinya mampu menampilkan kepada pembaca kata-kata latin yang sama sekali baru bagi khallayak pembaca sastra khususnya di Indonesia. Banyak sekali istilah-istilah latin dan istilah budaya, yang digunakannya sehingga mampu menambah perbendaharaan kosakata pembacanya. Artinya secara tidak langsung dengan membaca karya tersebut para pembaca telah mendapatkan berbagai istilah latin untuk berbagai kosa kata yang dalam bahasa ibu mereka tidak ada atau memiliki padanan.
Contoh: Pada Buku I Laskar Pelangi kita menemui kata-kata
1. Dul Muluk: Sandiwara rang melayu, dipentaskan sepertu ketoprak tapi pakemnya berbabak-babak.
2. Filicium (Filicium decipien; fern tree) pohon kere/ kerai/ paying atau Ki Sabun, disebut Ki Sabun karena seluruh bagian tubuh pohon itu mengandung saponin atau zat kimia yang menjadi salah satu bahan untuk membuat sabun.
3. Antudiluvium: Masa sebelum diluvium (zaman Pleistosen).
4. Thistle Crescent (Venessa cardui; painted lady; thistle butterfly): jenis kupu-kupu yang paling luas penyebarannya dan hampir bisa ditemui di seluruh dunia.
5. Cassiopeia: Konstelasi bintang berbentuk seperti huru W dibelahan bumi utara, berada didekat Polaris
6. Manekken pis (patung bocah yang sedang pipis) aikon pariwisata belgiayang dipahat Jerome duquesnoy tahun1619
7. Juliette Balcony, sebuah tempat di Verona yang pernah menjadi rumah kosnya William Shakeepeare ketika menuliskan adegan Romeo memanjat kamar dengan gordijn yang dijulurkan Juliette.
Dll.
2. Peranan Budaya
Budaya juga memiliki peranan dalam pengembangan bahasa, misalnya pada masyarakat Minangkabu. Dalam berbahasa mereka memiliki istilah kato nan ampek, istilah ini mengacu kepada penggunaan bahasa dan kepada siapa bahasa itu mestinya dituturkan. Kato nan ampek itu adalah: kato manurun (kata menurun), kato mandata (kato mendatar), Kato mandaki (kata mendaki), dan kato malereng (kata melereng). Kesemua kato (kata) itu haruslah tepat dalam penggunaannya. Kato manurun misalnya, biasa digunakan oleh orang-orang yang lebih besar usianya kepada orang yang lebih kecil. Kato mandata biasa dituturkan kepada orang-orang sebaya, kato mandaki biasa dituturkan kepada orang-orang yang lebih tua, sedangkan kato malereng (kata melereng) atau biasa juga kato bakieh (kata berkias) biasa diucapkan kepada ipar, menantu dan ninik mamak. Contoh lain dalam penggunaan kata sapaan dalam budaya minangkabau kita mengenal jenis kata sapaan untuk kerabat. Misalanya untuk kerabat laki-laki ibu, orang Minang menggunakan kata mamak dan untuk saudara laki-laki ayah menngunakan sapaan apak, Kata mamak dan apak memiliki arti lebih dibandingkan dengan kata om, namun dalam kenyataannnya orang-orang minang lebih banyak menggunakan kata om (paman) dalam menyebut saudara Ibu dan Bapaknya.
Pada suku bangsa Jawa pun dikenal dua tingkatan bahasa, yaitu bahasa jawa Ngoko, Kromo Jadi bagaimana mungkin dalam pembelajaran bahasa kita tidak memberikan pembelajaran sastra dan budaya, karena sertiap pengajar tidak menginginkan para pelajarnya menjadi orang-orang yang hanya mampu menguasai materi dan teori namun juga mampu menguasai aspek sosial budaya yang terkandung di dalamnya.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment