Sastra Generasi Millenial

sastra dan Era modern
Sastra dan era Modern
Sejak hampir dua dekade yang lalu lahir Generasi Millenial, juga dalam sastra. Kaum muda usia 18 sd 39-an tahun yang seakan-akan merupakan “putra langit”, bukan anak-anak yang dibesarkan oleh tata nilai kepengasuhan di bumi. Memang indikator kelahiran adalah semakin dominannya peradaban IT, tetapi tidak bisa disebut sebagai kontinyuitas dari karakter kebudayaan generasi sebelumnya yang melahirkan IT. Anak-anak itu seperti makhluk baru yang lebih genuin, seolah-olah ada pengasuh yang lain yang tidak berada di bumi.
Generasi Millenial itu, di samping sangat IT-addict, sangat menonjol kecerdasan enterpreneurship-nya, tidak terlalu tersandera oleh kekuasaan politik, tidak menjadi pengemis di depan kantor kapitalisme industri, tidak termakan secara semena-mena oleh media massa, punya keberpihakan yang serius terhadap “kesalehan”, serta memiliki kebebasan otentik dalam kreativitas, termasuk dalam kesenian dan sastra.
Selama hampir dua dekade belakangan ini mereka menciptakan ruang-ruang sastra sendiri, tanpa fobi, sentimentalitas atau penolakan terhadap ruang-ruang sastra yang telah ada sebelumnya, yang sangat berbeda formula sosialisasinya. Mereka menampilkan optimisme sastra yang tidak tersangka-sangka, merekahkan harapan-harapan kebudayaan dan kemanusiaan melalui keasyikan sastra yang berbeda dari generasi-generasi sebelumnya.
Saya tidak atau belum akan menyeret pembacaan ini ke wilayah substansial yang lebih mendalam. Fakta Generasi Sastra Millenial itu saya kemukakan untuk sekurang-kurangnya meyakinkan diri saya sendiri bahwa terbukti dimensi sastra tidak bisa dicerabut, dihilangkan, dibuang atau ditiadakan dari makhluk manusia.
Pasti saya tidak mampu merumuskan sastra dari perspektif transendensi atas-sastra, sebagaimana tak sanggup juga merumuskan manusia dari perspektif yang me-makro-i manusia. Mungkin sastra itu semacam energi batin, yang berposisi hakiki, niscaya atau sejati, di dalam diri manusia. Sehingga tak mungkin terjadi manusia jika tanpa sastra. Tak mungkin manusia menjadi manusia tanpa sastra. Apabila sastra direduksi dari keutuhan manusia, akan berlangsung ketidakseimbangan yang serius. Ada semacam lobang gelap di dalam jiwa manusia yang membatalkan keutuhan kemanusiaannya. Jika manusia berlubang dan tak seimbang ini berkumpul menyusun suatu sistem sosialitas, maka kebudayaan yang dihasilkannya akan penuh guncangan, peradaban yang dibangunnya tidak memiliki kesuburan.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment