Manusia dan Sastra |
Setiap manusia memperluas dirinya untuk mengakomodasi beribu kemungkinan perbedaan. Di bidang apa pun. Apalagi sastra, suatu semesta nilai yang terus bergerak, yang watak utamanya adalah “gerak dan aliran”, yang sesekali jadi padatan sementara, tetapi kemudian selalu dipergoki oleh kemungkinan keindahannya yang baru dan yang lebih baru lagi.
Orang menemukan sastra yang saya tidak temukan, atau sebaliknya: saya menemukan sastra yang orang tak menemukannya, tidak menganggapnya atau mempercayainya. Itu bukan hanya bukan masalah: justru itulah hakiki sastra. Saya menikmati sastra di materi-materi karya sastra, di wajah manusia, di kandungan jiwa makhluk-makhluk, di hamparan alam semesta, di firman Tuhan, di duka derita rakyat dalam negara, di tali-tali persambungan antarapa pun dalam kehidupan.
Betapa sastra tetap tegak martabatnya di tengah zaman —yang sebagian pelakunya semakin tidak mengenalnya, sebagian lain meremehkannya, serta sebagian yang lain lagi mencampakkannya dan menganggapnya tidak ada.
Sastra ternyata belum, dan memang tidak menjadi “fosil” sejarah di tengah peradaban sosial dimana kemanusiaan ditindih sampai ke garis paling nadir di telapak kaki sejarah. Sastra tidak musnah oleh riuh-rendah negara, industri dan kapitalisme yang sangat tidak berpihak pada manusia. Negara yang hanya mampu memandang kehidupan manusia pada lapis paling permukaan, yakni yang kasat mata, atau yang di seputar jangkauan indera.
Terlebih lagi dominasi kekuasaan materialisme, kapitalisme dan industrialisme, yang puncak pencapaiannya adalah memutilasi manusia dengan menyisakannya hanya sebagai “benda” saja, demi “agama” pasarnya. Kalaupun ada faktor-faktor non-materi yang diambil dari manusia, misalnya intelektualitas, kreativitas, kecerdasan, sensibilitas, kelembutan, bahkan berbagai hal yang mereka sangka “rohani”, itu semua tetap dimobilisasikan untuk mengabdi kepada benda dan pasar.
Sastra tidak musnah di tengah situasi dan gerak “ketidak-beradaban” peradaban benda dan pasar hasil karya makhluk-makhluk di bumi —yang kalaupun mereka masih menyebut-nyebut dimensi rohani, itu pun dikonstruksikan dan diformulasikan secara dan sebagai materi. Rohani diidentifikasi dengan cara pandang, sisi pandang, sudut pandang serta jarak pandang materialisme. Untuk kemudian dikapitalkan dan dikomoditaskan.