Memajukan Fakultas Sastra |
Pertanyaan balik saya itu bukan keisengan. Bukan pula jebakan. Tapi memang serius. Kenapa sastra harus maju dan untuk apa. Kalau dua hal tersebut tidak bisa dijawab, maka pertanyaan yang bersifat 'bagaimana' menjadi agak aneh. Kalau tidak tahu alasan untuk apa maju, kenapa harus ditanya syarat dan caranya?
Karena tidak ada pandangan yang jernih pada pokok soal, maka kemudian kita lihat serentetan pandangan untuk memajukan sastra, sekaligus sebagai alasan mengapa sastra kita tidak maju. Mulai dari 'minimnya kritik sastra', 'tidak adanya festival sastra yang bermutu', 'tidak ada penghargaan sastra yang baik', 'tidak ada dukungan yang memadai dari Pemerintah', dll.
Saya tidak mau menilai masing-masing jawaban yang ada. Tapi yang jelas saya tidak akan pernah setuju jawaban-jawaban seperti itu. Ini sudah soal perbedaan cara pandang. Bagi orang yang menjawab seperti di atas maka sastra adalah suatu hal yg bisa dicopot dari sebuah realitas besar yang saling terkait. Saya bukan penganut cara berpikir fragmentaris seperti itu.
Sastra bagi saya merupakan salah satu sekrup yang menjadi bagian dari sebuah rangka besar yang entah kita beri nama peradaban, masyarakat atau negara. Terserah. Sesuaikan saja dengan konteksnya. Pertanyaan bagaimana cara memajukan sastra itu sama saja dengan pertanyaan bagaimana cara memajukan sepakbola Indonesia. Apa sih biasanya jawaban dari pertanyaan tersebut? 'Kurangnya kompetisi yang hebat', 'kurangnya pembibitan pemain yang baik', 'organisasi yang tidak bertanggungjawab', 'negara kurang memberi perhatian', dll. Coba bandingkan dengan jawaban soal sastra. Hampir mirip bukan? Hakul yakin hal yang serupa akan Anda dapatkan jika Anda bertanya soal senirupa, film, teater dll.
Bagi saya, sastra atau sepakbola adalah bagian dari sebuah sistem ekonomi, politik dan sosial di Indonesia. Tidak bisa problem sastra diselesaikan secara internal. Itu persoalan yang relatif teknis. Kalau sistem kita masih seperti ini, ya sastra akan begini-begini saja. Kalau sastra bisa maju sendiri terlepas dari sistem besar yang mengelilinginya malah akan mengherankan. Kalau tiba-tiba kita masuk final piala dunia padahal kebijakan ekonomi kita tidak jelas, cara memilih presiden kita gak bener, partai-partai masih berwatak seperti itu, mental kita masih mental kacung hanya pakaiannya saja yang necis, justru malah aneh...
Kalau kemudian Anda jawab: buktinya ada Pramoedya yang bisa melahirkan karya-karya besar? Kalau seperti itu berarti kita tidak sedang bicara soal masyarakat sastra tapi orang per orang. Kalau begitu tidak perlu ada diskusi karena hanya bicara soal pribadi-pribadi. Setiap orang bisa punya solusi sendiri-sendiri.
Balik ke pertanyaan di atas, kadang saya juga menjawab: Bukankah sastra kita sudah maju? Biasanya Si Penanya juga bingung dan lantas bertanya: kok bisa? Saya menjawab dengan enteng: Di Indonesia, seorang penulis bisa sangat kaya, bukunya bisa terjual jutaan eksemplar, bukankah itu pasar yang menggembirakan? Dan kalau pasar seperti itu mestinya tidak ada yang mengkhawatirkan. Biasanya saya tambahi: Makanya saya kadang bingung kalau ada komunitas atau lembaga yang dibentuk untuk memasyarakatkan sastra. Bukankah pembeli karya sastra sudah sampai jutaan orang. Mau dimasyarakatkan seperti apa lagi? Kadang-kadang saya tambahi lagi: Jangan-jangan memang gak ada persoalan di sastra kita tapi sengaja dicari-cari supaya sastra terlihat penting dan ada sekian orang yang merasa peduli?
Biasanya mata lawan bicara saya kethap kethip, clilang clileng, ndomblong dan seperti orang bingung.
Kalau sudah seperti itu biasanya saya lantas kasihan. Terus saya hibur: masyarakat sastra ya memang harus peduli sama sastra, aneh juga kalau peduli sama sinetron.
Kalau lawan bicara saya mulai tersenyum, saya akan lanjutkan: walaupun cara peduli mereka susah dipahami.