Terprovokasi oleh tulisan seorang
mahasiswa Fakultas Sastra di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja dan
juga tulisan seorang alumnus Fakultas Sastra mengenai mahasiswa sastra saat ini
yang tidak tertarik dengan sastra dan cenderung menjauhi diskusi-diskusi sastra
di kalangan mereka sendiri. Tulisan sahabat-sahabat ini sangat memikat saya dan
menggerakan saya untuk menuliskan pengalaman saya pada saat ‘belajar’ di
fakultas sastra bertahun-tahun lalu. Kemudian merefleksikan diri di masa kuliah
jurusan sastra dahulu. Pertamanya, saya masuk fakultas sastra bukanlah pilihan
pertama. Banyak yg menentang, alasannya, karena tidak ada 'keuntungan' di masa
depan alias ngga jelas mau jadi apa keluaran dari fakultas ini kecuali jadi
guru atau dosen bahasa atau di perusahaan asing (dengan banyaknya saingan dari
fakultas yang paling top saat itu, fakultas ekonomi tentunya) ...tapi saya cuek
aja dengan tetap mengikuti kata hati (dan ternyata sayapun mensyukurinya saat
ini), kenapa? karena saya sejak kecil memang sudah terkesima dengan
tulisan-tulisan indah, dimulai dengan suka baca buku ceritanya Enid Blyton
(Lima Sekawan, Sapta Siaga), Trio Diktektif karya Alfred Hitchcock, lalu mulai
suka baca-baca puisi, saya sudah diperkenalkan pada karya Mark Twain di kelas 5
SD (Huck Finn dan Tom Sawyer), saya terkagum-kagum dengan dongeng HC Andersen
dan terpana menyaksikan lomba baca puisi Chairil Anwar di kotaku. Tapi sangat
disayangkan,...masuk ke fakultas sastra, kegairahan saya terhadap prosa dan
puisi serta misteri-misteri dan filsafat di dalamnya dan bagaimana kita
nantinya mampu menelaah karya sastra secara baik, terhapus pelan-pelan dan
tergerus oleh cara para dosen mengajarkan ilmu-ilmu sastra tersebut yang sama
sekali jauh panggang dari api, tidak ada ‘kegairahan’ dan kecintaan terhadap
karya-karya sastra di dalam cara mereka mengajar dan 'mencuci otak'
mahasiswa-mahasiswanya. Fakultas Sastra dalam angan-anganku yang naif banget
adalah perjumpaan teatrikal hasil prosa dan puisi dari para pujangga-pujangga
dunia dan Indonesia disandingkan dengan dunia akademis yang berjejal
teori-teori sastra dan filsafatnya, kemudian melahirkan karya-karya tulis
mahasiswanya yang penuh kata-kata indah dan bermakna, dan mampu menjadi senjata
atas ketidak adilan. (Kata adalah senjata) ternyata tidaklah demikian..semua
mengalir begitu normal, membosankan dan menjadi seperti mekanisme perkuliahan
biasa-biasa saja. Kita mahasiswa saat itu, tidak pernah diajarkan bagaimana
mengkritisi karya sastra secara benar, tidak pernah diajarkan menulis dan
melihat karya sastra baik secara akademis maupun dari sudut pandang lainnya
sehingga yang dikejar oleh para mahasiswa dan para dosen...bagamana cara
menyelesaikan mata kuliah itu dan mendapatkan nilai setinggi-tingginya supaya
cepat kelaar dan cepat dapet kerjaan. Dan akhirnya, bertahun-tahun kemudian,
saya pun rasanya menjadi seperti para sarjana-sarjana lainnya di bumi pertiwi
ini, lulus kuliah, mencari kerja, mendapatkan pekerjaan, melupakan sesaat bahwa
kita adalah keluaran fakultas sastra...ah, yang diingat jika anda dari fakultas
sastra adalah, kamu jurusan bahasa apa? Inggris? Prancis? Rusia?
Hmmm...semuanya akan berakhir dengan kalimat “oh ya..bisa ngajar dunk?”; “Oh
ya, bahasanya pasti bagus ya...pasti keterimalah kerja di perusahaan
asing”..jadi, masyarakat akan melihatmu dari ‘skill’ bahasa bukan dari
kesastraan-nya. Yah, itulah permintaan pasar, dan kita tentunya mengikuti
kebutuhan masyarakat sesuai kondisi ekonomi. Disinilah akhirnya kadang kita
melihat idealisme mahasiswa (bukan hanya mahasiswa sastra) luntur jika sudah
berubah dari the moral force menjadi jobseeker. Menyedihkan ya... (saya pun
mengalaminya). Baru setahun ini saja, saya ingin menekuni sastra kembali
sebagai the ‘inner voice’, yah seperti suara yang memanggil-manggil dari padang
gurun, istilahnya sih...dan karenanya saya harus berterima kasih kepada
blog-blog yang menyuarakan semangat sastra, seperti mediasastra, horison
online, kompasiana, poemhunter, contemporary poetry review, dll, yg memuat
tulisan-tulisan tentang sastra yg bermutu dan akhirnya menggugah saya kembali
ke hal-hal yg saya sudah tinggalkan sebelumnya, saya jadi tertarik kembali
membaca karya-karya sastra, teori-teori tentang literary criticism, puisi,
drama, prosa...wah banyak deh, seakan dunia si Alice in wonderland terbuka
lebar di depan saya...akhirnya, serasa kembali ke kitahnya, mendalami kembali
secara otodidak dari guru kehidupan yang ada di sekeliling kita. Dan
hasilnya...sangat menyenangkan dan mencerahkan jiwa. Jadi menurut saya,
fakultas sastra di Indonesia memang tidak mendukung mahasiswa-mahasiswanya
(baik itu yg memang suka sastra atau terpaksa masuk ke fakultas ini) untuk
benar-benar tertarik mendalami sastra setelah ada di dalamnya. Materi-materi
perkuliahan fakultas sastra seharusnya mengalami perubahan dari waktu ke waktu
sesuai perkembangan jaman, dan dosen-dosennya pun seharusnya mempunyai gairah
dan kecintaan tentang sastra itu sendiri (setidaknya, mereka juga termasuk
penulis, penyair, kritikus sastra dan pemerhati sastra yang teruji dan sahih dalam
karya-karyanya) – sedihnya, saya belum melihat itu sih, setidaknya di fakultas
saya dulu itu, dan membaca pengalaman-pengalaman mahasiswa-mahasiswa saat ini
di beberapa blog itu). Lihat tuh negara-negara lain fakultas sastranya udah
maju sampai ke bulan. Mereka punya asosiasi penyair yang terkenal. Mengadakan
seminar-seminar internasional tentang karya-karya sastra mereka terkini.
Memberikan ruang-ruang untuk kritikus sastra dan tulisan-tulisan yang
membangun. Kalau kita berselancar ke blog-blog mereka, kita pasti akan
tercengang-cengang dengan tulisan-tulisan para kritikusnya. Contohlah si
penulis Laskar Pelangi, Andrea Hirata, dia saja baru mengetahui apa itu sastra
setelah mendapatkan beasiswa untuk belajar sastra di Universitas Iowa (dan ini
menurutnya sangat mempengaruhi karyanya yang terbaru “Sebelas Patriot”). Quo
Vadis Fakultas Sastra di Indonesia? Apakah kita masih jalan di tempat?
Teori-teori yang dipakai masihlah teori-teori yang lama, kadaluwarsa dan
akhirnya para mahasiswa mikir, “yg penting gw selesai kuliah, cari
kerja...beres!!” Apa sih output dari fakultas sastra itu sendiri? Semestinya,
dengan membaca karya-karya sastra, kita bisa belajar untuk menjadi peka
terhadap sekeliling kita, sebab sastra menawarkan semacam dunia kecil dimana kita
dapat terlibat dan berinteraksi sekaligus berempati. Dari empati ini kemudian
timbul kesadaran yang mengendap bahwa ada yang tak beres dengan realitas.
Banyak ketimpangan yang mungkin tak disadari jika kita tidak mengasah kepekaan
dalam membaca keadaan sekitar. Dan akhirnya, darah muda yang menggelegak segera
mengambil sikap dan berpihak. Jelas, mereka sadar kemana seharusnya keadaan
diperjuangkan; ada yang tertindas dan membutuhkan uluran tangan! Saya kutip
tulisan dari Gde Dwitya, tentang kegelisahannya pada fakultas sastra di era ini
: “............Lalu dimana Fakultas Sastra yang banyak menginspirasi dan
melahirkan para pembawa nyala api revolusi di dadanya? Dimana calon Gie-Gie
baru? Dimana Rendra-Rendra baru? Mereka tampaknya tersingkirkan diantara keriuhan
pesta pora Fakultas Sastra yang kian riang dan dekaden. Mereka makin asing
dengan gedung-gedungnya yang makin tinggi dan menebarkan kemapanan. Mereka
mengingatkan saya pada perasaan yang Ayip Rosidi ungkapkan dalam puisinya
berjudul New York, musim panas tahun 1972: Disini matahari terbit tapi entah
dimana Disini matahari terbenam tapi entah dimana Sinarnya tak pernah tiba di
bumi tersangkut di gedung-gedung tinggi
..................................................................... Belajar
dari pendahulu-pendahulu sastra terdahulu, yang menggunakan moto ‘Kata adalah
Senjata”, ada kah mahasiswa fakultas sastra jaman MTV, novel chicklit, komik
manga... yang masih punya punya impian, “ah gw selesai dari sini mau terjun
jadi penulis novel, penyair, kritikus sastra, atau berjiwa
revolusioner...pengen jadi seperti Pram, atau Sanoesi Pane, atau Rendra atau
Saut Situmorang, atau SC. Bachri itu”...yaah...terpaksa deh yang pengen jadi
seperti mereka, perginya ngga lagi ke fakultas sastra, tapi ke bengkel-bengkel
teater, institut seni, dan lain-lain. Nah, aku menggugatmu dalam kekinianmu,
Fakultas Sastra (yang sekarang katanya mau di ubah namanya menjadi Fakultas
Ilmu Budaya...yaaah, makin kacau deh..) Jawablah..apa sih output dari fakultas
sastra itu sendiri? sarjana sastra seperti apa ya yang dirimu
inginkan??....untuk siapa kau berada saat ini? Quo Vadis...
Faktor Kemunduran Fakultas Sastra
Tentang Unknown
Link sosial Media Author di bawah
0 Comments